Sejarah Ciliwung, Sumber Air Minum Yang Kini Jadi Tempat Sampah





Banjir besar yang menerjang Jakarta pekan lalu membuat nama Sungai Ciliwung kembali dibicarakan. Sungai dengan panjang sekitar 120 kilometer itu luapan airnya begitu menakutkan.

Apalagi jika hujan turun di Bogor dan ditambah di Jakarta, naik turunnya volume air di Sungai Ciliwung membuat kening selalu berkerut. Semua was-was dan khawatir Ciliwung mengamuk dan membanjiri warga Ibu Kota.

Ya, itulah peristiwa yang terjadi pekan lalu. Banjir dari tahun ke tahun selalu terulang. Lagi-lagi berasal dari amukan Ciliwung. Salah siapa?

Jika menengok mundur ke belakang, keberadaan Sungai Ciliwung sebenarnya sangat penting bagi pertumbuhan Kota Jakarta. Sungai ini dahulu menjadi pusat dan jalur transportasi. Tapi kini, sungai itu tidak terawat dan malah dijadikan pembuangan sampah.

Seperti dilansir dari Jakarta.go.id, Minggu (27/1), Sungai Ciliwung ini berhulu di Gunung Pangrango, Jawa Barat. Sungai ini mengalir melalui kawasan Puncak, Ciawi, lalu membelok ke utara melalui Bogor, Depok, Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta. Dari Kota Jakarta, alirannya bercabang dua di daerah Manggarai: yang satu melalui tengah kota, antara lain sepanjang daerah Gunung Sahari, dan yang lain melalui pinggir kota, antara lain melalui Tanah Abang.

Sungai yang mengalir di tengah Kota Jakarta ini, mengalir lurus dan membelok ke timur setibanya di seberang Jl. Labu Hayam Wuruk dan menumpahkan airnya ke Kali Tangki di sisi jalan tersebut. Air Ciliwung masih terus ke utara, menyusuri sisi timur Medan Glodok dan baru membelok ke timur setelah melewati Gedung Bioskop Pelangi (pertokoan Harco), sebagian lagi menumpahkan air ke Kali Besar yang masa itu membentang dari timur ke barat, menyusuri Jl. Pancoran (di seberang Glodok Building) sampai melewati Jembatan Toko Tiga. Bagian Kali Besar yang menyusuri Jl. Pancoran sudah tidak ada, mungkin telah menjadi riol tertutup.

Bagian Sungai Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara, dulu merupakan kali swasta dengan aturan membayar tol apabila melaluinya. Kali yang oleh orang Belanda dinamakan Molenvliet itu dibuat oleh Kapitein der Chinezen (kepala warga Cina di Betawi), Phoa Beng Gan sehingga terkenal dengan nama Beng Gan. Tahun 1648 Beng Gan mendapat izin dari Kompeni untuk membuat kali tersebut dan memungut tarif dari sampan-sampan yang lewat di sana, tahun 1654 diambil alih Kompeni dengan harga 1.000 real.

Sungai Ciliwung merupakan tempat Belanda pertama kali membangun kastilnya di tepi timur muara. Sedang di tepi barat muaranya terdapat Gedung Culemborg dan kantor Pabean Jl Pakin juga menyeberangi sungai ini. Sungai ini juga membentang di Kampung Muka Timur. Aliran lurus Sungai Ciliwung di sebelah selatan disebut Kali Besar. Di sebelah barat sungai terdapat Weltervreden dan di sebelah timur di daerah Prapatan terdapat sebuah rumah pribadi yang pernah menjadi kantor Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Muara sungainya juga menjadi tempat Pelabuhan Sunda Kalapa.

Pada masa awal Batavia, perahu kecil berlayar di sepanjang Ciliwung untuk mengangkut barang dari gudang dekat Kali Besar ke kapal yang berlabuh di laut. Pada pertengahan 1630, Sungai Ciliwung mengalami pengendapan. Untuk mengatasinya dibangun sebuah parit sepanjang 800 m ke laut yang secara rutin digali untuk melancarkan aliran air. Panjang parit bertambah sampai 1.350 m (1827) dari muara sungai akibat pasir dan lumpur yang terus bertumpuk apalagi dengan adanya gempa bumi pada bulan Januari 1699.

Cabang Sungai Ciliwung yang bermuara ke samudera digunakan sebagai jalan masuk kasteel lewat kapal dari kanaal ke Waterpoort. Pembangunan Molenvliet juga dihubungkan dengan sungai ini sebagai sumber tenaga bagi berbagai industri. Dahulu Sungai Ciliwung airnya digunakan sebagai sumber air minum penduduk.

Air sungai ini pada tahun 1689 belum tercemar dan bisa digunakan sebagai air minum. Gempa bumi yang terjadi pada bulan Januari 1699, mengakibatkan kenaikan tingkat pengendapan. Timbunan lumpur dan tanah liat bertumpuk di parit yang digali untuk melancarkan aliran air ke dan dari sungai.

Sayang, sejak tahun 1740 air sungai ini sudah dianggap tidak sehat karena segala sampah dan buangan air limbah rumah sakit dialirkan ke sungai. Banyak pasien menderita disentri dan kolera. Air minum yang kurang bersih ini menyebabkan angka kematian yang sangat tinggi di antara warga Batavia.

Sebaliknya kebanyakan orang China yang minum teh jarang terjangkit penyakit akibat air. Menyadari hal ini banyak arang Belanda makan daun teh agar tetap sehat. Tentu saja usaha ini tidak berhasil.

Pada akhir abad ke18, Dokter c.p Thunberg masih meresepkan daun teh daripada air teh yang dimasak. Pada zaman itu belum diketahui bahwa kuman dalam air akan mati kalau airnya dimasak sampai mendidih. Sampai abad ke-19 air Kali Ciliwung oleh orang Belanda digunakan sebagai air minum. Air kali mula-mula ditampung di dalam semacam waduk (waterplaats atau aquada), yang dibangun dekat Benteng Jacatra, bagian utara kota, kemudian dipindahkan ke tepi Molenvliet sekitar daerah Medan Glodok. Waduk dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian kira-kira 10 kaki (kurang dari 3 m), sehingga daerah sekitarnya oleh orang Betawi dinamakan Pancuran.

Dulu ketika Ciliwung masih dapat dilayari oleh perahu yang cukup besar sampai ke tengah kota, di daerah sekitar Jl. Gajah Mada dan Harmoni, sering diselenggarakan perayaan tahunan pek cun atau peh cun, yakni perayaan perahu berhias bagi orang China di Jakarta. Kini, air sungai sudah keruh ketika mencapai Jakarta, karena daerah alirannya merupakan tempat pembuangan limbah. Akibatnya, dasar sungai itu semakin dangkal dan alirannya semakin lambat.

0 comments:

Posting Komentar