Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zein, menyatakan kesiapannya membongkar pihak yang terlibat dalam penculikan aktivis dan budayawan pada 1998.
Hanya saja, Kivlan berharap tidak hanya kasus 1998 yang dibongkar, termasuk kasus kerusuhan lainnya juga segera diungkap.
Kivlan berpendapat, kalau beberapa kasus lain diungkap secara terang benderang di publik, maka kasus lain juga harus diungkap.
Dia menilai, Megawati Soekarnoputri juga punya pengetahuan soal kerusuhan di beberapa tempat, saat menjabat sebagai Presiden. Dia mendesak itu juga dibongkar.
"Kalau mau kasus ini (penculikan aktivis 1998) terang benderang, saya siap. Nanti ada satu panel nasional untuk menjelaskan kasus 98, Ambon, Priok, Poso, Sampit. Ini harus diselesaikan secara nasional. Kalau saya bongkar semua, kasihan Megawati. Karena saat itu dalam tragedi banyak Foto Mega," kata Kivlan usai melapor ke Ombudsman, Jakarta, Senin. (2/6/2014).
Sementara, mengenai tudingan beberapa pihak yang menyebut Mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto terlibat dalam peristiwa Mei 1998, kata dia tidak mendasar. Dia meyakini, atasannya itu tak terlibat seperti yang dikatakan kebanyakan pihak.
"Ketika saya diundang dalam acara debat di TV One tentang penghilangan paksa yang diduga waktu itu ada tim mawar. Saya sebagai Konstrad, Wakil Prabowo. (Prabowo) saat itu sudah tidak jadi Danjen Kopassus lagi. Jadi sebenarnya, Pak Prabowo tidak bertanggung jawab. Jadi, 13 orang yang hilang itu bukan tanggung jawab Prabowo. Saat itu dia telah meninggalkan Kopassus," ujar Kivlan.
Ada 21 yang dilaporkan diculik. Sembilan orang dilepas dan kini aktif di partai politik saat ini seperti Desmon J Mahesa (Gerindra), Andi Arif (Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam) maupun Pius Lustrilanang (Gerindra). Sementara ada 13 yang tidak kembali dan diduga tewas, seperti budayawan Wiji Thukul.
Dia mengaku, pada saat peristiwa tersebut terjadi, dirinya menjabat sebagai panglima tingkat dua dan bertugas di Malang, Jawa Timur.
Kivlan mengaku, mengetahui dari laporan intelijen bahwa 13 orang yang hilang itu diamankan untuk mengantisipasi sidang istimewa di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
"Saya mengetahui karena sebagai pejabat TNI saya mengetahui dari intel. 13 orang yang hilang untuk mengamankan sidang istimewa MPR," papar Kivlan.
Sebelumnya, Kivlan mengaku menolak memenuhi panggilan Komnas HAM. Sebab, dalam Undang-undang tahun 2000 tentang HAM dijelaskan, kasus pelanggaran HAM sebelum tahun 2000 harus diadili di pengadilan HAM Ad Hoc. Komnas HAM pun dianggapnya menyalahi administrasi aturan.
"Saya merasa isu itu dari tim kampanye Jokowi-JK. Hal itu desakan orang-orang yang tidak senang Prabowo dan mendesak Komnas HAM, kemudian langsung memanggil saya," kata Kivlan. (*inilahcom)
0 comments:
Posting Komentar