Barangkali penistaan terhadap kesucian Masjid Al-Aqsha adalah langkah terakhir ekstrimisme pemerintah 'Israel' untuk memastikan yahudisme Negara. Ya, yahusasi Negara yang menjadi syarat "perundingan serius" dengan Otoritas Palestina untuk mencari "penyelesaian" dan bukan perdamaian yang harus bertekuk lutut kepada syarat penjajah.
Sudah sangat jelas, pemerintah Netenyahu menggunakan dasar dari kelompok "preman" warga Yahudi yang bekerja seperti cara mafia-mafia saat penjajahan 'Israel' pertama kali menancap di Palestina. Sejumlah anggota Knesset dan rabbi yahudi ekstrim "preman" itu mendapatkan legalitasnya dalam mendorong pemerintah memberikan perlindungan kepada mereka.
Secara politis, 'Israel' yang sudah dikendalikan para preman itu ingin "memaksakan status quo baru terhadap masjid Al-Aqsha, baik dengan menetapkannya sebagai wewenang dan titik kedaulatan 'Israel' di sana atau menetapkan status "pembangian" antara umat Islam dan YAhudi.
Sekenarionya sudah jelas. Berani menyentuh Al-Aqsha adalah batas merah. Jika berani melakukannya, 'Israel' melakukan perjudian berbahaya. Sebab peristiwa terbesar di Agustus 1969 adalah pembakaran terhadap sisi timur "Jami Qibali" masjid Al-Aqsha sampai ke arah selatan Al-Aqsha. Pelaku pembakaran adalah warga Kristen Australia pembela Zionisme yang kemungkinan tindakan personal. Bahkan sengaja memutus saluran air ke masjid sehingga secara sengaja 'Israel' memperlambat pemadaman kebakaran. Banyak peninggalan bersejarah yang terbakar di masjid Al-Aqsha.
Jadi meski terjadi berbagai pelanggaran terhadap tempat suci di Al-Aqsha beberapa kali pada waktu sebelumnya, namun itu bukan tindakan sistematis dan terencana. Sebab 'Israel' memiliki prioritas lainnya di kala itu yakni perdamaian Oslo. Perundingan Oslo inilah yang membuka mata 'Israel'; ternyata semua tempat suci di Palestina sangat mungkin menjadi obyek tawar menawar dengan perunding Palestina; dari wilayah jajahan 1967 dan perbatasannya, pemukiman-pemukiman Yahudi yang seperti karet terus mengembang, air, ekonomi dan sepotong roti, hingga memecah-belah Negara Palestina yang dijanjikan hingga Al-Quds dan tempat sucinya serta eksistensi warga Arab Palestina di sana.
Ketika sampai pada perundingan Cam David 2000, masalah status Al-Quds ditentukan secara detail. Masing-masing pihak kemudian saling melakukan kompromi. Yaser Arafat tidak bisa melakukan kompromi maka perundingan digagalkan. Presiden Amerika Bill Clinton kala itu menuding Arafat bertanggungjawab atas kegagalan perundingan.
Namun ketika Ehud Barack menawarkan "kompromi" terhadap Al-Quds dalam perundingan itu, maka ia langsung diganjar dengan diberikan jabatan PM. Namun Ehud harus merelakan popularitasnya yang tergerus dari suara kelompok ekstrim dan popularitas partai Likud Ariel Sharon hingga Partai Avigdor Lieberman dan lainnya naik.
Namun ketika Ehud Barack menawarkan "kompromi" terhadap Al-Quds dalam perundingan itu, maka ia langsung diganjar dengan diberikan jabatan PM. Namun Ehud harus merelakan popularitasnya yang tergerus dari suara kelompok ekstrim dan popularitas partai Likud Ariel Sharon hingga Partai Avigdor Lieberman dan lainnya naik.
Sharon kemudian masuk menggerebek Al-Aqsha sembari mengatakan, "Di sinilah inti konflik." Itulah yang menjadi bara api Intifadah Palestina Jilid II yang harus dihadapi Sharon setelah dilantik menjadi perdana menteri. Karena mendapatkan dukungan dari Amerika dan Eropa yang hanya diam sementara Arab hanya bisa mengecam, maka Sharon menggunakan represif dalam mendepak Intifada dengan segala macam sarana militer; pesawat tempur, tank, roket untuk menghadapi batu. Intifada pun meletus tak ada hentinya sampai perang terhadap Gaza berulang tiga kali.
Sekanario Intifada karena dipicu kekerasan terhadap Masjid Al-Aqsha bisa terulang. Apa yang dilakukan Moshe Viglin dari anggota Knesset dan rabbi Yehuda Glik hanya mengikuti langkah Sharon untuk memicu Intifada III.
Namun Netenyahu kali ini akan menggunakan represifnya untuk menerapkan perubahan mendasar yang baru terhadap status Al-Quds. Sejak pembantian terhadap warga Palestina di masjid Ibrahimi tahun 1994 dalam Intifada II hingga agresi 'Israel' ke Gaza, pelanggaran terhadap tempat suci Islam berkali-kali terjadi. Ini seakan menjadi pemula dan pemancing dari perang.
Bagi mafia YAhudi yang menguasai 'Israel', mereka sengaja mempersiapkan situasi regional Arab yang saling berperang dan kejahatan ISIS sebagai situasi perang internasional terhadap terorisme adalah unsur-unsur menetapkan kedaulatan YAhudi atas Al-Aqsha dan menantang wasiat yang diembankan kepada Yordania.
Banyak pihak yang yang memperingatkan akan berubahnya konflik antara Arab – 'Israel' menjadi Islam – Yahudi. Sebab mafia Netanyahu – Lieberman menilai konflik 'Israel' dengan Arab sudah berakhir sejak lama. Jika ada kekhawatiran konflik agama akan meletus maka inilah saatnya. Sebab saat ini yang menjadi target adalah terorisme Islam.
Jika 'Israel' menguasai Masjid Al-Aqsha maka ini akan menjadi pukulan pertama mematikan dan judul kemenangan barat dalam perang ini. Pertanyaannya; jika sekenarionya sudah jelas sejak lama kenapa Arab masih dingin-dingin saja? Apakah konflik Islam dan non Islam sudah sampai pada tingkat meremehkan tempat suci? Kesibukan negeri-negeri Arab dengan kondisi internalnya menjadi bagian dari jawaban pertanyaan itu. Namun itu tidak menjadi legitimasi kesalahan sejarah atau memarginalkan tempat suci Islam ketiga dan arabisme al-Quds. (at/arabqatar/infopalestina)
0 comments:
Posting Komentar