Awal pekan ini wilayah Rusia di sebelah barat bertambah 26.100 km persegi setelah Crimea memilih lepas dari Ukraina untuk berada di bawah kendali Moskow. Bagi Rusia, ini adalah integrasi sekaligus merangkul kembali semenanjung yang lepas dari kekuasaan Moskow setelah bubarnya Uni Soviet. Tapi, bagi Ukraina, ini adalah perampokan wilayah.
Tetangga mereka di Eropa Barat ramai-ramai mengecam aksi Rusia, yang dianggap sebagai aneksasi atau pencaplokan wilayah milik Ukraina. Bahkan Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah siap menjatuhkan sanksi tambahan kepada Rusia dan Crimea setelah menjatuhkan sanksi larangan berkunjung dan pembekuan aset atas sejumlah pejabat mereka.
Bergabungnya Crimea ke dalam kekuasaan Rusia merupakan babak terkini krisis di Ukraina. Menyingkirkan presiden pro Moskow, Viktor Yanukovych, akhir Februari lalu membuat Ukraina kini kehilangan wilayah. Namun, pemerintahan baru Ukraina di Kiev selama ini hanya bisa pasrah melihat manuver Rusia di Crimea, mengingat kekuatan militernya kalah jauh.
Rusia bergerak cepat. Dua hari setelah referendum berlangsung, Moskow selenggarakan perjanjian integrasi dengan pejabat Crimea. Esoknya, Rabu 19 Maret 2014, pasukan tanpa atribut dan milisi bersenjata di Kota Sevastopol menduduki pangkalam militer Ukraina dan mengusir para perwiranya.
Menurut Russia Today, dimulainya proses integrasi Crimea ke Russia diresmikan melalui penandatanganan suatu traktat yang berlangsung di Moskow pada Selasa
waktu setempat. Sevastopol, kota khusus yang berada di Crimea selatan, juga menjadi bagian dari Rusia. Sevastopol selama ini juga menjadi pangkalan militer
Rusia yang menghadap Laut Hitam di kawasan Eropa timur.
Penandatanganan traktat itu melibatkan Presiden Rusia, Vladimir Putin, Perdana Menteri Crimea, Sergei Aksyonov, Ketua Parlemen Crimea, Vladimir Konstantinov
dan Wali Kota Sevastopol, Alexei Chalily. Kesepakatan itu memuat sepuluh pasal yang segera berlaku begitu diratifikasi parlemen Rusia.
Selanjutnya, Putin meminta parlemen Rusia untuk meratifikasi kesepakatan itu. "Saya minta pengesahan dua entitas baru dalam Federasi Rusia, Republik Crimea
dan Sevastopol," kata Putin di sidang parlemen.
Menurut dia, hasil referendum yang menyatakan hampir 97% rakyat Crimea bergabung ke Rusia merupakan angka yang sangat meyakinkan. "Dalam lubuk hati, kami tahu Crimea selalu menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari Rusia," kata Putin.
Dalam traktat tersebut, Rusia menjamin penduduk di Crimea dan Sevastopol berhak menggunakan bahasa mereka. Di wilayah itu, akan ada tiga bahasa resmi, yaitu Ukraina, Rusia dan Tatar, yaitu kelompok etnis di Crimea. Etnis Rusia merupakan mayoritas penduduk di wilayah itu.
Dengan pengesahan traktat tersebut, penduduk Crimea dan Sevastopol akan dianggap sebagai warga Rusia. Transisi status di Crimea dan Sevastopol itu akan
berlangsung hingga 1 Januari 2015.
Selama masa transisi, kedua pihak akan menyelesaikan masalah-masalah teknis dan administratif. Di Crimea, mata uang rubel dari Rusia berlaku resmi selain mata uang setempat, hryvna. Menurut traktat, hryvna masih dianggap sebagai mata uang utama di Crimea dan Sevastopol hingga 1 Januari 2016.
Walau proses integrasi itu di atas kertas masih dalam transisi, militer Rusia bergerak cepat. Pasukan bersenjata lengkap tanpa atribut - yang disangkal Moskow sebagai pasukan Rusia - dan milisi setempat menyerbu masuk barak militer Ukraina di Sevastopol, Rabu 19 Maret 2014, setelah mereka kepung dalam dua pekan terakhir, ungkap kantor berita Reuters.
Menurut para saksi, penyerbuan berlangsung cepat namun tidak ada kontak senjata. Tak lama kemudian, tiga bendera Rusia berkibar di barak militer Ukraina.
Dengan kepala tertunduk, para perwira militer Ukraina diusir dari kantor mereka di bawah pengawasan bersenjata dari pasukan tanpa atribut sambil memakai penutup kepala dan wajah. Tampaknya para perwira kembali ke rumah masing-masing atau ke kediaman kerabat dekat. Mereka tidak tunjukkan perlawanan.
"[Rabu] Pagi ini, mereka menyerbu kompleks. Mereka mendobrak gerbang, namun saya tidak dengar bunyi tembakan," kata Oleksander Balanyuk, seorang kapten Angkatan Laut Ukraina setelah terpaksa meninggalkan kantornya yang sudah diserbu sambil membawa barang-barang bawaan.
"Masalah ini seharusnya sudah diselesaikan secara politis. Kini saya cuma bisa berdiri di gerbang, tidak ada lagi yang saya bisa perbuat," kata Balanyuk, yang tampak merasa malu dan sedih.
Juru bicara militer Ukraina, Vladislav Seleznyov, mengungkapkan bahwa panglima angkatan laut Laksamana Serhiy Haiduk dibawa keluar dari markas oleh segerombolan orang bersenjata. Mereka diduga pasukan khusus Rusia.
Ukraina Mengecam
Nun jauh di ibu kota Ukraina, Kiev, menteri pertahanan sementara Ihor Tenyukh bertekad bahwa militernya tidak akan ditarik dari Crimea walau sudah ada traktat integrasi di Moskow.
Perdana Menteri Ukraina, Arseniy Yatsenyuk, mengecam keras manuver Moskow dan Crimea itu. Bahkan dia anggap sebagai "perampokan berskala internasional" dan Ukraina tidak akan pernah menerimanya.
"Suatu negara datang dan untuk sementara mencuri bagian dari wilayah suatu negara yang merdeka," kata Yatsenyuk seperti dikutip stasiun berita CNN. Dia bahkan memperingatkan bahwa krisis ini akan bergerak dari "yang bersifat politik ke bentuk militer dan militer Rusia patut disalahkan."
Hingga kini belum ada solusi yang memuaskan antara Ukraina dan Rusia soal krisis di Crimea. Jangankan berunding, menyusun agenda untuk berdialog saja masih mustahil. Satu-satunya pertemuan pejabat Ukraina dan Rusia adalah saat mereka berdebat di ruang sidang Dewan Keamanan PBB di New York, AS.
Sementara itu, AS dan Uni Eropa masih belum bisa menjadi juru damai atas krisis di Crimea. Bahkan isu ini berkembang menjadi pertikaian baru antara Rusia dengan negara-negara Barat.
Menurut kantor berita Reuters, Amerika Serikat mengecam perjanjian aneksasi di Moskow itu sambil mengancam menambah sanksi atas para pejabat maupun politisi Rusia dan Crimea. "Akan ada tambahan [sanksi] lagi," kata juru bicara Gedung Putih, Jay Carney.
Menurut stasiun berita BBC, AS dan UE pada Senin lalu telah menjatuhkan sanksi berupa larangan bepergian atau tidak memberi izin berkunjung (visa) kepada sejumlah pejabat Rusia dan Ukraina yang pro-Moskow. Aset-aset mereka di AS dan UE juga dibekukan.
Mereka yang kena sanksi adalah sejumlah pejabat pemerintah dan parlemen Rusia serta pemimpin separatis di Crimea. Di antara mereka adalah Sergei Aksyonov, pemimpin sementara Crimea; Deputi Perdana Menteri Rusia, Dmitry Rogozin; dan Valentina Matviyenko, kepala majelis tinggi parlemen Rusia.
Para tokoh yang kena sanksi itu dianggap berperan dalam referendum itu, yang dipandang AS, UE, dan pemerintahan sementara Ukraina di Kiev sebagai langkah ilegal. Referendum dan perjanjian integrasi itu dipandang sebagai bagian dari rekayasa Rusia mencaplok Crimea. (*fokus.viva)
0 comments:
Posting Komentar