BANDA ACEH - Tingginya kasus kekerasan politik menjelang pemilu di Aceh dinilai akibat pemerintah dan penegak hukum abai dengan kasus-kasus yang ada. Akumulasi kekerasan pemilu 2009 dan pemilukada 2009 yang tak ditangani serius, membuat kekerasan terus terulang setiap menjelang pesta demokrasi.
Demikian hasil analisa sejumlah komponen masyarakat sipil Aceh yang tergabung dalam LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, Katahati Institute, Gerak Aceh, MaTA, Forum LSM Aceh, KontraS Aceh dan AJMI.
Catatan mereka sejak April 2013 hingga 1 Maret 2014, sedikitnya sudah ada 38 kasus yang terjadi terkait dengan isu pemilu. "Dari 38 kasus tersebut di bagi dua kategori, dengan jumlah kasus yang terjadi, di antaranya, 21 kasus kekerasan pemilu dan 17 kasus pelanggaran pidana pemilu," kata koordinator masyarakat sipil Aceh, Mustiqal Syah Putra di Banda Aceh, Kamis (6/3/2014).
Kekerasan pemilu yang mereka catat terdiri dari; enam kasus penganiayaan, lima kasus pembakaran mobil, tiga kasus intimidasi, tiga kasus pembunuhan, satu kasus penculikan, satu kasus perusakan posko, dan satu kasus penembakan posko.
Sedangkan 17 kasus pelanggaran pidana pemilu, di antaranya berupa 13 kasus pengrusakan alat kampanye, satu kasus pengancaman, satu kasus pemalsuan surat dan dokumen dan dua kasus kampanye di luar jadwal.
Mustiqal mengatakan, kekerasan jelang pemilu paling dominan terjadi di Kabupaten Aceh Utara dengan 15 kasus. Disusul Lhokseumawe enam kasus, Pidie dan Aceh Besar tiga kasus. Selanjutnya Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Banda Aceh dua kasus.
Sementara saat pemilu 2009 lalu, pihaknya mencatat ada 20 kasus kekerasan, selanjutnya meningkat menjadi 22 kasus serupa pada pemilukada 2012. Kasus kekerasan yang terjadi saat itu bentuk hampir sama dengan kekerasan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir seperti pembakaran mobil, pengrusahan alat peraga, pembunuhan, penembakan, intimidasi dan lainnya.
Mereka menilai pemicu tingginya kekerasan setiap kali ada pesta demokrasi seperti sekarang adalah, karena sikap Pemerintah Aceh cenderung mengabaikannya. Padalah pemerintah bisa mencegah kekerasan meluas dengan.
"Dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab terselenggaranya pemilu yang demokratis dan damai di Aceh, pemerintah dapat menggunakan seluruh instrumennya, untuk mencegah meluasnya tindak kekerasan politik yang akan terjadi," sebutnya.
Pihaknya juga menyorot penyelenggara dan pengawas pemilu yang lemah di Aceh, juga menjadi biang munculnya berbagai pelanggaran dan kekerasan.
Selanjutnya penegakan hukum juga kurang respon terhadap potensi kekerasan yang bakal terjadi jelang pemilu di Aceh. Kepolisian harus segera berupaya mencegah bertambahnya kasus kekerasan pemilu.
Sementara Kapolda Aceh Brigjen Husein Hamidi mengatakan, pihaknya tak membiarkan kekerasan terjadi jelang pemilu. Polisi serius mengusut berbagai kasus kekerasan jelang pemilu dan pelaku pelanggar hukum harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan hukum. "Tidak ada pembiaran dari polisi," tukasnya.
Pihaknya akan meningkatkan razia senjata api untuk mencegah terjadinya teror dengan senjata api yang kini mulai marak terjadi. (*okz)
0 comments:
Posting Komentar