Prancis mempunyai jumlah pemeluk Islam terbesar di Eropa, sekitar enam juta orang. Islam menjadi agama kedua yang paling banyak dianut.
Setelah menaklukkan Spanyol, tentara Muslim terdesak ke selatan Prancis. Mereka dikalahkan dalam Perang Poitiers pada 732 M. Pada abad ke-9, tentara Muslim menaklukkan sejumlah wilayah di Fraxinet.
Selama musim dingin 1543-1544 M, Toulon digunakan sebagai basis angkatan laut Ottoman di bawah pimpinan Barbarossa. Populasi Kristen dievakuasi dan Katedral Toulon diubah menjadi masjid sebelum diambil kembali oleh Prancis.
Imigran Muslim tergolong tinggi pada akhir 1970-an. Sebagian besar datang dari Aljazair dan negara koloni Afrika Utara. Masjid Agung Paris yang dibangun pada 1922 adalah simbol pengakuan Prancis terhadap Islam.
Meski Prancis menolak apa pun yang berkaitan dengan agama, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mencoba mengatur perwakilan bagi Muslim. Pada 2002, Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy menggagas Dewan Muslim Prancis (CFCM). Pada 2004, organisasi ini dipimpin rektor Masjid Paris, Dalil Boubakeur.
Ulama yang satu ini juga mengkritik keras Persatuan Organisasi Islam Prancis (UOIF) karena melibatkan diri dalam kericuhan politik pada 2005. CFCM mengakui dua organisasi utama Islam. Pertama, federasi Muslim Prancis yang didominasi pemimpin dari Maroko dan UOIF yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Islam).
Menurut peneliti Michel Tribalat dari lembaga survei INED, orang dengan asal-usul Maghribi di Prancis mewakili 82 persen populasi Muslim. Sebanyak 43,2 persen dari Aljazair, 27,5 persen dari Maroko, dan 11,4 persen dari Tunisia. Sisanya berasal dari Subsahara Afrika (9,3 persen) dan Turki (8,6 persen).
Hingga 2008 ada sekitar 2.125 masjid di Prancis. Perkawinan sesama jenis oleh Muslim di Prancis pertama kali terjadi pada 18 Februari 2012. Sejumlah organisasi Islam mendukung perkawinan sesama jenis ini.
Sekolah Muslim didirikan di La Reunion (sebuah pulau di timur Madagaskar). Sekolah menengah Muslim pertama bagi anak usia 11-15 tahun dibuka di Aubervilliers pada 2001 dengan jumlah murid 11 orang. Tidak seperti di Amerika atau Inggris, sekolah ini tidak memberatkan orang tua karena disubsidi negara.
Muslim di Prancis mengalami sejumlah diskriminasi, misalnya pelarangan penggunaan hijab atau cadar. Penggunaan hijab menjadi kontroversial sejak 1989. Pemerintah dan sebagian besar publik mendukung pelarangan jilbab atau pakaian yang merupakan simbol agama.
Prancis memang dikenal sebagai negara sekuler. Sejak 1994, kurang lebih 100 siswa perempuan dikeluarkan dari sekolah mereka hanya karena menolak melepaskan jilbabnya. (*s:ROL)
0 comments:
Posting Komentar