Campur tangan asing dan masuknya isu SARA atau sektarian dalam politik Pemilu 2014, secara khusus pada pencalonan Joko Widodo selaku Presiden RI, nampaknya sedang marak.
Isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) dalam pencapresan Joko Widodo, menjadi sesuatu yang ril. Bukan sekadar sebuah rumor apalagi humor politik. Hanya saja isu sensitif yang menjadi sorotan itu, bukan lagi terletak pada latar belakang dan keturunan keluarga Joko Widodo. Melainkan lebih pada indentifikasi orang-orang yang saat ini berusaha mengendalikan Joko Widodo dan PDI Perjuangan.
Mereka yang ingin mengendalikan Megawati dan Joko Widodo, sebetulnya di masa lalu, merupakan penentang utama Megawati dan ayahnya, Soekarno. Hal ini terendus dari pola penyelenggaraan pertemuan Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri dengan sejumlah diplomat atau Duta Besar negara asing di rumah Jacob Soetoyo, seorang pengusaha di kawasan Permata Hijau, Senin malam 14 April 2014 lalu.
Pola pertemuannya saja, mengabaikan alur protokoler yang lazim diberlakukan negara kepada Megawati Soekarnoputri. Sesuai UU, Megawati dan para mantan Presiden, tetap disebut sebagai presiden. Hanya periode atau tahunnya saja yang berbeda. Namun Presiden Megawati Soekarnoputri tiba-tiba "dikerdilkan" oleh protokol "Pertemuan di Istana Jacob" itu.
Padahal, Megawati tidak hanya seorang "Presiden". Lebih dari itu, Megawati merupakan figur yang digadang-gadang sebagai penentu arah politik Indonesia ke depan. Keputusannya, sangat vital. Dan kalau keliru, bisa membuat Indonesia fatal. Lantas apa peran dan kehebatan tokoh di balik pertemuan itu? Pelobi, oportunis atau "zombie'?
Yang menimbulkan pertanyaan, mengapa pertemuan tidak digelar di kediaman Megawati Soekarnoputri? Atau mengapa tidak digelar di kantor DPP PDI Perjuangan?
Kalau Mahathir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia saja mau menyambangi Megawati di kediamannya, lantas mengapa para insiator "Pertemuan Istana Jacob", membuat agenda sendiri? Begitu vitalkah dana yang disediakan untuk kegiatan makan minum dan kongkow-kongkow hari Senin malam itu?
Apakah inisiator "Pertemuan Istana Jacob" sekadar mau memperlihatkan tajinya kepada publik? Atau sekadar melakukan perang urat syarat atau propaganda tentang eksistensinya yang belum mendapat pengakuan?
Dengan cara itu, secara politik "Pertemuan Istana Jacob" bisa memberi aksentuasi, Megawati dan capresnya Joko Widodo, sudah berada di bawah pengaruh atau kendali negara asing. Dan negara asing yang dimaksud, mereka yang diwakili oleh para Duta Besarnya.
Memang terdapat sejumlah Dubes, tetapi yang patut ditandai kehadiran utusan Amerika Serikat dan Vatikan. Negara asing itu, punya perpanjangan tangan di Indonesia, melalui jalur swasta dan dunia bisnis. Inilah masalah yang cukup mendasar dari "Pertemuan Istana Jacob". Soal isi pertemuan, tidak menjadi penting, tetapi "window dressing"nya yang substansil.
Entah disadari atau tidak oleh Megawati Soekarnoputri apalagi Joko Widodo, "Pertemuan Istana Jacob" mengirim pesan kepada publik, bahwa PDI Perjuangan sudah diterima pihak Barat cq Amerika Serikat.
Dalam konteks kesetaraan politik, hal ini merupakan sesuatu yang positif dan produktif. Tetapi berhubung "Pertemuan Istana Jacob" digelar di rumah seorang pebisnis yang dikenal mewakili kepentingan kelompok tertentu, pertemuan Megawati, Joko Widodo dan para Dubes tersebut menjadi sesuatu yang kontra produktif.
Mengapa?
Pertemuan digelar di rumah Jacob Soetoyo, pebisnis sukses yang dikenal dekat dengan lembaga pemikir CSIS dan para pendiri badan nirlaba tersebut. Tujuannya mungkin untuk memberi kesan, pencapresan Joko Widodo mendapat dukungan positif dari kalangan pebisnis (Jacob Soetoyo dkk) dan kaum intelektual (CSIS).
Tapi kefatalan dari pertemuan ini, terletak pada isu sektarian. Sebab sang pebisnis dan lembaga yang dekat dengannya, tak bisa menampik bahwa mereka bermasalah dalam soal SARA atau sektarian.
Jakob Soetoyo bukanlah pebisnis yang dikenal luas oleh masyarakat, tetapi lewat pertemuan di rumahnya, ia terpromosi. Ia seakan menjadi sosok pebisnis yang dianggap memiliki kekuatan politik. Ia melahirkan sebuah poros politik baru lewat bisnis pertemuan.
Sementara CSIS sebagai lembaga pemikir yang sempat dimusuhi oleh kelompok tertentu di kalangan umat Islam, punya stigma. Yaitu CSIS merupakan dikendalikan oleh kelompok non-muslim di Indonesia.
Sehingga Jakob Sutoyo dan CSIS ibarat "dua produk" yang disatukan. Celakanya, penyatuan itu seperti mengingatkan bahwa CSIS pernah diberi label "halal". Kini produk "halal" tersebut tiba-tiba muncul kembali di pasar bebas.
Ada kesan, Jakob Sutotyo "menempel" ke CSIS. Dan "penempelan" itu punya agenda tersembunyi. Sementara CSIS selain pernah dimusuhi oleh kelompok tertentu di masyarakat Islam, lembaga ini dikenal sangat dekat dengan lobi Amerika Serikat dan Vatikan (baca komunitas Katolik Internasional). Maka jadilah pebisnis dan lembaga pemikir sebuah kesatuan.
CSIS mendapat sorotan kali ini, sebab pada satu masa, di era kejayaan Presiden Soeharto, CSIS sempat dirumorkan sebagai lembaga strategis yang sangat berperan dalam dunia politik di Indonesia. Sejumlah produk UU yang dihasilkan DPR-RI, banyak yang diinisiasi oleh CSIS. Lembaga ini juga memiliki jaringan politik di Golkar, partai pemerintah yang berkuasa selama 32 tahun, seperti Orde Baru.
Lembaga ini juga berperan dalam penentuan siapa saja yang bisa menjadi Wakil Presiden, Menteri dan Dubes RI untuk negara sahabat. Karena peran dwi fungsi militer sangat kuat di era Orde Baru, lembaga ini dituding ikut mengatur siapa yang akan menjadi Panglima. Mulai dari tingkat daerah hingga nasional.
Namun akibat perannya yang terkesan berlebihan itu, menimbulkan ketidak nyamanan di kalangan publik. Terutama di kalangan politisi dan intelektual Islam. Salah satu bentuk ketidak-nyamanan itu mendorong ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesa) melahirkan lembaga pemikir bernama CIDES. Dalam kiprahnya, CIDES selalu berusaha melawan analisa dan proyeksi-proyeksi pemikiran para anggota CSIS.
Sehingga pada satu masa CSIS dan CIDES berhadap-hadapan atau bersaing secara politik. Ketika BJ Habibie yang menjabat Ketua ICMI menjadi Presiden di 1998, di era itulah terjadi degradasi peran oleh CSIS. Yang lebih berperan CIDES.
Artinya secara tidak langsung, persaingan antara CIDES dan CSIS merupakan wujud dari perseteruan dari kelompok Islam dan non-Islam. Begitu juga maknanya, CSIS sudah pernah menciptakan perbenturan antara kelompok Islam dan non-Islam.
Bahkan kelompok nasionalis yang tidak punya saham dalam perseteruan ini dan diwakili oleh Megawati Soekarnoputri ikut dimusuhi CSIS. Sebab paham Soekarno yang menjadi ideologi PDI, sangat ditentang oleh para pemikir di CSIS.
Sejarah mencatat penentangan itu dilakukan CSIS dengan cara lebih membela Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI dari pada Megawati Soekarnoputri. Oleh sebab itu, tidak heran, jika kalangan nasionalis yang mencatat rekam jejak CSIS, cukup terkejut dan bertanya-tanya, apa yang membuat Megawati tertarik menghadiri "Pertemuan Istana Jacob".
Apakah Megawati dijebak, terjebak atau sengaja menjebakkan diri?
Dalam konteks politik bebas aktif dan demokrasi, "Pertemuan Istana Jacob" merupakan hal yang sah dan positif. Tapi dalam soal kejujuran dan ketulusan berpolitik, pertemuan itu merupakan sebuah kemunafikan bentuk lain persengkongkolan.
Jadi tetap saja sebuah kegiatan kontra produktif. Sesuatu yang bisa menimbulkan permasalahan baru bagi bangsa. Sebuah langkah yang bisa mengeroposi kewibawaan Megawati Soekarnoputri sebagai seorang oposan yang pernah menjadi korban kebijakan Orde Baru, lobi Barat dan pembawa inspirasi politik anti Soekarno.
Dan jika Megawati Soekarnoputri ingin dicatat dengan tinta emas sebagai negarawati yang mempersatukan bangsa Indonesia, kelanjutan pertemuan seperti itu, hendaknya dihindari.
Megawati harus menapak ke depan. Soekarno, Soeharto dan CSIS merupakan masa lalu.
Dan toh tanpa pertemuan di "Istana Jacob", Megawati sudah menjadi sosok yang menentukan di republik ini. Sementara tokoh-tokoh yang menginisiasi pertemuan itu sesungguhnya hanya ingin menumpang pada ketokohan Megawati dan Joko Widodo. (*inilah)
0 comments:
Posting Komentar