Empat tentara bayaran Blackwater akhirnya divonis bersalah setelah membunuh 17 orang di Baghdad, Irak, tujuh tahun lalu. Kerap bekerja mengawal diplomat dan pengusaha di daerah konflik, Blackwater dianggap semena-semena terhadap warga setempat.
Pasukan bayaran Blackwater memicu ketakutan di Irak yang pada 2007 lalu dengan melepaskan tembakan yang menewaskan 17 orang di Alun-alun Nisur, Baghdad. Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada Rabu (23/10), pengadilan Washington memutuskan mereka bersalah pada kasus itu.
Keberadaan Blackwater di Afghanistan saat itu hanyalah sebagian kecil dari kontraktor keamanan yang beroperasi di wilayah konflik. Bahkan bisnis tentara outsourcing ini kian dicari, terutama setelah AS hengkang dari Afghanistan dan Irak.
Sejatinya AS tidak benar-benar meninggalkan dua negara tersebut, setelah selama lebih dari sepuluh tahun berperang dan menghabiskan dana miliaran dolar serta menewaskan 2.126 tentara.
Fiscal Times tahun lalu memberitakan bahwa AS meninggalkan puluhan ribu tentara bayaran di Afganistan.
Menurut lembaga Professional Overseas Contractors, tahun lalu ada sekitar 110.404 pasukan kontraktor yang bekerja di Afghanistan, sebanyak 33.444 di antaranya warga Amerika, sisanya warga setempat dan warga dari negara lain.
Mereka melakukan semuanya, mulai dari menyajikan makanan hingga mencukur rambut, sampai petugas keamanan. Selisih jumlah pasukan dari kontraktor swasta dan personel militer AS bahkan mencapai 40 ribu orang.
Kebanyakan mereka adalah tentara outsourcing yang bekerja untuk Kementerian Luar Negeri AS dalam melindungi diplomat dan Kedutaan Besar.
Artinya, mereka dipersenjatai dan berhak membunuh seseorang yang mengancam atas nama pemerintah Amerika Serikat.
Blackwater yang saat ini mengubah namanya menjadi Academi adalah salah satu perusahaan paling kuat dan berpengaruh di wilayah konflik internasional.
Namun masih banyak lagi perusahaan sejenis yang menawarkan jasa tentara pengamanan, seperti DynCorp, ArmourGroup dan Erynis.
Bisnis menggiurkan
Ramainya pemain di sektor ini bisa dimaklumi, pasalnya ini adalah bisnis bernilai US$100 miliar. Bahkan menurut para ahli, saat ini jumlah perusahaan militer swasta lebih banyak ketimbang jumlah negara anggota PBB.
Mereka juga tidak main-main terjun di bisnis ini. Mulai dari persenjataan hingga perangkat tempur canggih yang biasanya dimiliki oleh negara besar ada di tangan mereka.
Menurut data tahun 2007 lalu, dikutip dari The Guardian, Blackwater telah menurunkan pasukannya di sembilan negara di dunia. Tahun itu personelnya sudah mencapai 21 ribu orang.
Walau berbahaya, pekerjaan sebagai tentara bayaran lebih menggiurkan bagi mantan militer atau pasukan khusus. Gajinya bisa mencapai US$1000 per hari, jauh lebih besar dari gaji harian tentara pemerintah.
Perusahaan yang didirikan Erik Prince ini memiliki lebih dari 20 pesawat, termasuk helikopter serbu. Mereka juga mengembangkan sendiri kendaraan lapis baja dan perangkat mata-mata.
Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri AS tidak mengumumkan berapa uang yang mereka habiskan untuk menyewa tentara outsourcing.
Namun menurut analisa Pusat Strategi dan Studi Internasional, CSIS, Kementerian Pertahanan AS diperkirakan merogoh kocek US$375 miliar untuk menyewa militer outsourcing pada 2011, meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2000.
Tren berlanjut
Diperkirakan tren penggunaan tentara outsourcing akan terus berlanjut di masa depan.
Namun pengamat politik dari lembaga think tank RAND Corporation, Molly Dunigan, mewanti-wanti pemerintah AS untuk berhati-hati menggunakan jasa tentara swasta ini, agar kejadian tahun 2007 tidak terulang lagi.
Dunigan dalam tulisannya di The Christian Science Monitor tahun lalu mengatakan bahwa menurut survei RAND tahun 2008, 35 persen diplomat yang menyewa tentara swasta di Irak antara tahun 2003 dan 2008 menanggung kerugian akibat ulah pasukan sewaan itu.
"Hampir 40 persen tentara swasta ini bertindak mengancam, arogan, sering berkelahi saat diturunkan, termasuk melempari warga setempat hanya untuk membuka jalan," kata Dunigan.
0 comments:
Posting Komentar