Organisasi yang memantau kasus Timor Leste dan Indonesia yang berkantor di New York, Amerika Serikat, East Timor and Indonesia Action Network (ETAN), mengecam keputusan Presiden Joko "Jokowi" Widodo karena memilih Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan.
Koordinator ETAN, John M. Miller, menilai pemilihan Ryamizard sebagai menteri menunjukkan Jokowi tidak serius dengan janjinya untuk mempromosikan hak asasi manusia atau menjangkau Papua Barat.
"Dia (Ryamizard) adalah warisan masa lalu dengan riwayat pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan tentara, mengancam pengkritik HAM, dan mencampuri urusan sipil," kata Miller dalam rilis pers yang diterima Tempo, Senin, 27 Oktober 2014.
ETAN juga menulis saat berkampanye Jokowi terlihat menyambut positif upaya untuk menegakkan keadilan bagi pelanggaran HAM di masa lalu. Jokowi juga berjanji akan membuat dialog dengan Papua Barat.
Dalam rilis itu, dikutip pula perbincangan Ryamizard dengan majalah Time. Dalam wawancara itu, Ryamizard mengaku mengawasi pelaksanaan darurat militer di Aceh pada Mei 2003 yang telah menewaskan ratusan nyawa.
"Tugas kami adalah untuk menghancurkan kemampuan militer GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Isu keadilan, agama, otonomi, kesejahteraan sosial, dan pendidikan bukanlah urusan militer Indonesia," kata Ryamizard saat itu.
Dalam wawancara yang sama, pria 64 tahun ini juga berkata, "Pasukan saya mengeksekusi anak-anak yang tidak bersenjata. Jika mereka bersenjata, mereka akan ditembak karena anak-anak dan wanita juga bisa membunuh". (Baca: Pengamat Sesalkan Jokowi Pilih Ryamizard)
Memilih Ryamizard, kata Miller, sama saja dengan memutuskan hubungan masa lalu atas pelanggaran HAM. "Kurangnya akuntabilitas untuk masa lalu dan pelanggaran HAM yang berlangsung dapat mengancam kemajuan masyarakat dalam jangka panjang," kata Miller.
Disesalkan
Pengamat pertahanan dari Imparsial Al Araf mengatakan langkah Presiden Joko Widodo memilih Jenderal Purnawirawan Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan kurang tepat. Musababnya, pensiunan militer tak pantas jika mengisi posisi Menteri Pertahanan.
"Idealnya berdasar pengalaman selama ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Pertahanan berasal dari kalangan sipil," kata Al Araf saat dihubungi Tempo, Ahad, 26 Oktober 2014. Dia menganggap Menteri Pertahanan dari kalangan sipil lebih netral menjadi penghubung antara pemerintah pusat dengan TNI.
Sebagai contoh, reformasi peradilan TNI berpotensi terhambat jika menteri pertahanannya bekas prajurit. Musababnya akan muncul kemungkinan Menteri Pertahanan akan membela institusi militer yang telah membesarkan namanya.
"Terlebih Ryamizard, muncul potensi resistensi penegakan hukum bagi prajurit yang melanggar. Sebab rekam jejak Ryamizard saat menjabat KSAD pernah membela prajurit Kopassus yang membunuh Ketua Presidium Dewan Papua Dortheys Hiyo Eluay pada November 2001," terang Al Araf.
Selain itu, Al Araf juga khawatir Ryamizard kurang tepat untuk membangun kekuatan militer sesuai visi kemaritiman Presiden Joko Widodo. Musababnya Ryamizard adalah mantan Jenderal di Angkatan Darat, walhasil dianggap kurang paham dengan pengembangan kekuatan maritim. (*tempo)
0 comments:
Posting Komentar