Apa yang akan terjadi bila negara besar di Timur Tengah berperang satu sama lain, antara Iran dan Arab Saudi?
Pertempuran antara dua negara penghasil minyak ini tentunya tidak akan baik bagi perekonomian dunia yang sampai saat ini masih membutuhkan minyak bumi sebagai penggerak roda industri.
Namun dalam konstelasi global, kedua negara ini selalu berseteru untuk meraih pengaruh politik di kawasan. Skenario apa yang terjadi bila dua negara yang mewakili Arab dan Persia ini perang habis-habisan?
Dalam artikel 'Iran-Saudi Arabia: a troubled affair' di Aljazeera November tahun lalu disebutkan bahwa kedua negara ini sebenarnya sudah terlibat dalam peperangan yang disebut dengan proxy war.
Dijelaskan, pemboman kedutaan Iran di Beirut di bulan itu berhubungan dengan jalannya perundingan damai antara negara-negara kekuatan dunia dengan Iran di Jenewa.
Menurut penulisnya Khosrow Soltani, Saudi dan Iran sebenarnya pernah berkawan saat keduanya menjadi ujung tombak Amerika Serikat membendung pengaruh Uni Soviet tahun 1960-1970-an.
Namun, keduanya berseteru hebat ketika perang Irak-Iran dan semakin memanas saat jamaah haji Iran dibantai di Arab Saudi tahun 1987.
Selain perbedaan ras dan ideologi, Iran juga mempunyai masalah perbatasan dengan negara-negara Teluk yang menjadi mitra Saudi seperti Uni Emirat Arab.
Iran mempunyai posisi strategis karena mempunyai sumber daya alam dan manusia yang mandiri. Selain itu, Iran bersama Yordania dan Maroko --disebut-sebut-- negara yang dipimpin oleh garis keturunan Nabi SAW.
Lebih dari itu, kemampuan Iran dalam penguasaan teknologi nuklir menjadi momok yang menakutkan bagi negara-negara Arab.
Soltani, mengutip WikiLeaks, menyebut bahwa Raja Abdullah bahkan beberapa kali telah mendorong AS untuk menyerang Iran dan menghancurkan fasilitas nuklirnya.
CNBC dalam artikel 'Iran-Saudi relations: A new Cold War heating up?' menyebut bahwa perang antara kedua negara ini sudah memasuki tahap perang dingin.
"Kita saat ini sedang menyaksikan sesuatu yang menyerupai skenario jenis Perang Dingin. Saya pikir ketegangan mungkin akan bertambah buruk di tahun-tahun mendatang," kata pengamat Timur Tengah, Torbjorn Soltvedt, di Maplecroft kepada CNBC dalam sebuah wawancara menjelaskan hubungannya dengan keterlibatan kedua negara di Suriah dan sekitarnya.
The Guardian dalam artikel 'Saudi Arabia and Iran must end their proxy war in Syria', menyebut Iran dan Saudi sudah saatnya menghentikan perang antar keduanya yang berakibat nestapa dan kesengsaraan di negara-negara tetangganya.
Melihat kecenderungan kedua negara untuk memperkuat kekuatan militer masing-masing, sulit untuk mengatakan bahwa kedua negara untuk tidak terlibat perang. Setidaknya keduanya telah terlibat perang proxy dan cold war yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perang nyata. (*Aljazeera/CNBC/Guardian/ROL)
0 comments:
Posting Komentar