Campur Tangan AS dan Capres Bermasalah Menjadi Sorotan



Derek Manangka

Trend yang terjadi dalam pemilihan Presiden di negara dunia ketiga, nampaknya selalu sama. Perilaku para capres yang berseberangan dengan yang menjadi keinginan rakyat, selalu terjadi. Juga banyak politisi yang berkeinginan menjadi Presiden, tetapi banyak pula rakyat yang tidak percaya atas kemampuan mereka.

Selain itu, para pemilih ragu, apakah setelah terpilih sebagai Presiden, mereka tidak melakukan korupsi? Kekhawatiran rakyat pemilih bahwa para capres bakal menjadi koruptor didasarkan pada alasan rekam jejak. Tak satupun di antara semua capres yang benar-benar bersih.

Para capres rata-rata merasa memiliki kemampuan ekstra dan tidak ragu memprovokasi para rakyat pemilih dengan berbagai janji. Para tim sukses masing-masing kandidat menonjolkan jaringan-jaringan yang mereka miliki. Sebaliknya tidak sedikit rakyat yang meragukannya, karena setiap capres memiliki rekam jejak bermasalah.

Hal yang terjadi di Afghanistan ini juga sedang menghantui Indonesia. Pemilu Afghanistan diikuti enam capres sementara Indonesia baru ada kepastian setelah penghitungan suara Pemilu Legislatif selesai dilakukan. Akan tetapi bila dihitung mulai dari jumlah para peserta konvensi Partai Demokrat, plus beberapa figur yang sudah mendeklarasikan keinginan mereka, capres di Indonesia bisa sama dengan di Afghanistan.

Afghanistan sudah menggelar Pemilu Sabtu 5 April 2014 lalu. Indonesia baru akan menyelenggarakan Pemilu Legislatif 9 April 2014 disusul dengan Pemilu Presiden 9 Juli mendatang.

Pemilu di Afghanistan dan Indonesia digelar, disaat kehidupan ekonomi masyarakat luas, sedang parah-parahnya. Yang membedakan, Afghanistan sudah masuk kategori salah satu negara gagal di dunia, sementara Indonesia baru terbatas pada besarnya jumlah utang luar negeri. Utang Indonesia di atas Rp3.000 triliun, sedangkan APBN 2014, hanya Rp1.400 triliun. Artinya secara matematika, keuangan Indonesia, defisit.

Seperti halnya Indonesia yang punya SBY sebagai Presiden Incumbent, Afghanistan juga punya Hamid Karzai. Tetapi kedua incumbent tidak dapat mencalonkan lagi karena dibatasi oleh UU.

Sekalipun begitu kedua incumbent memiliki preferens. Calon yang mereka dukung, terus dielus-elus supaya pemilih tahu siapa yang didukung oleh kedua pemimpin tersebut. Ujung-ujungnya, sama. SBY berharap presiden yang akan menggantikannya seorang junior atau sahabat kepercayaan, Karzai pun demikian.

Masing-masing ingin mengamankan posisi kehidupan, pasca-sudah tidak berkuasa lagi. Hamid Karzai dikenal sebagai seorang politisi yang keluarganya banyak bermukim di Amerika Serikat. SBY, tak satupun, tapi Presiden ke-6 RI ini menganggap Amerika Serikat merupakan tanah airnya yang kedua.

Kalau di Indonesia campur tangan Amerika Serikat hanya samar-samar atau terbatas sebagai sebuah rumor. Kalaupun ada yang menyebut campur tangan Amerika Serikat dilakukan lewat pengusaha James Riady dari Lippo Group, penyebutan itu tidak disertai bukti.

James Riady dikait-kaitkan kedekatannya dengan Bill Clinton. Tetapi sehebat-hebatnya pengaruh Bill Clinton sebagai mantan Presiden, secara hukum dia tidak punya kewenangan menentukan berapa anggaran yang harus diberikan Amerika Serikat kepada Indonesia apalagi kepada James Riady.

Tapi di Afghanistan, campur tangan Washington terang-terangan. Campur tangan Amerika Serikat tidak hanya terbatas pada pengamanan Pemilu, tetapi sampai kepada soal kehadiran pasukannya di Afghanistan, untuk jangka waktu lama. Bahkan berapa dana yang dikucurkan per tahun yang disetujui oleh senat dan kongres, juga diumumkan secara terbuka.

Hamid Karzai dikenal sebagai 'boneka'nya Amerika Serikat. Dia terpilih sebagai presiden untuk masa jabatan dua periode. Keberpihakannya pada Washington antara lain dengan mengizinkan 35.000 pasukan Amerika Serikat beroperasi di Afghanistan. Washington pun kemudian mengguyur Afghanistan bermiliar-miliar dolar.

Di Indonesia, isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan) merupakan persoalan yang cukup sensitif. Oleh sebab itu setiap peserta Pemilu, dalam kampanyenya, diwajibkan menghindari penggunaan isu tersebut .

Di Afghanistan, hal yang mirip, juga terjadi. Perbedaan suku merupakan persoalan yang sangat sensitif. Agama, tidak ada masalah mengingat Afghanistan merupakan sebuah negara Islam. Tapi pertikaian dalam agama terjadi karena berdasarkan aliran. Yang bertikai di Afghanistan, kelompok Islam yang menamakan diri Taliban melawan penguasa.

Keamanan penyelenggaraan Pemilu Afghanistan, dibayang-bayangi oleh ancaman teror Taliban. Laporan terakhir sekitar 150 peledakan bom terjadi selama pelaksanaan Pemilu 5 April lalu.

Dari 32 juta penduduk, yang terdaftar sebagai pemilih sekitar 7 juta jiwa. Tapi tidak semua pemilih berani datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Alasannya, adanya ancaman Taliban.

Di Indonesia, tak ada ancaman seperti itu, kecuali dari pihak Golongan Putih (Golput), pihak yang terus mengkampanyekan agar tidak usah memberikan hak suara di Pemilu 2014.

Penyelenggaraan Pemilu di Afghanistan dan Indonesia, memiliki kesamaan dalam soal kesulitan distribusi. Afghanistan terdiri dari wilayah-wilayah yang berpegunungan, terjal dan sulit diakses. Sementara Indonesia yang memiliki jutaan TPS tersebar di 17-an ribu pulau, menghadapi kesulittan dalam sistem distribusi.

Menghadapi isu internasional, Afghanistan dihantui oleh kedekatannya dengan Amerika Serikat. Setiap kandidat diperkirakan akan sulit menjaga jarak dengan Amerika Serikat. Sebab persoalan yang dihadapi oleh capres saat ini, setelah berkuasa, harus berhadapan dengan Taliban, musuh nomor satu Amerika Serikat di dunia Islam.

Karena kepentingan keamanan, setiap kandidat mau tidak mau harus berjanji akan menjaga hubungannya dengan Washington. Untuk itu setiap kandidat berjanji akan menanda-tangani perjanjian yang membuka peluang negara adi daya itu menempatkan pasukannya di Afghanistan hingga beberapa tahun ke depan.

Bagi Amerika Serikat, janji atau komitmen tiap capres penting. Sebab Hamid Karzai yang tadinya dianggap boneka Amerika Serikat, belakangan berubah. Hingga di akhir jabatannya, Karzai tidak mau menanda-tangani perpanjangan kontrak atas penempatan pasukan Amerika Serikat di Afghanistan.

Dengan latar belakang di atas, apapun hasilnya, hasil akhir Pemilu Afghanistan dan Indonesia, tetap menarik untuk disimak. (*inilah)


0 comments:

Posting Komentar