Muslim Uighur di Xinjiang: Ketika Jenggot dan Jilbab Menjadi Bencana


Di luar sebuah masjid di Kashgar, seorang ulama -- yang ditunjuk pemerintah untuk berbicara kepada wartawan -- mencoba tak menjawab pertanyaan mengapa generasi muda Muslim Uighur tidak memiliki jenggot?

Seorang wartawan lokal, ditengarai berasal dari Aksu -- kota oasis di Propinsi Xinjiang -- habis kesabaran, dan berteriak; "Mengapa Anda tidak mengatakan kebenaran kepada pemerintah?

Semua terdiam. Ulama itu menunduk sejenak. Wartawan itu berteriak lagi. "Jawabannya adalah karena pemerintah melarang jenggot."

Tak lama kemudian seorang polisi berpakaian preman menghardik wartawan itu; "Hati-hati dengan perkataan Anda."

Insiden di atas lebih dari cukup untuk menggambarkan ketegangan antara Muslim Uighur (baca: wi-gurs) dan pemerintah Tiongkok. Ketegangan itu terasa di pedesaan, yang dijadikan medan pertempuran penting bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk menghapus identitas kebangsaan dan agama masyarakat Uighur.

Sedikitnya seratus orang menemui ajalnya dalam 18 bulan terakhir. Jumlah korban yang lebih besar diperkirakan akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.

Identitas yang hendak dihapus dari masyarakat Uighur saat ini adalah jenggot bagi laki-laki, dan jilbab serta busana full-lenght longgar bagi perempuan.

Larangan ini bukan baru, tapi dicoba dipaksakan pada tahun ini. Di Urumqi, misalnya, pihak berwenang menyita 1.265 hijab dan 259 jilbab, dan pakaian bergambar bintang dan bulan sabit. Aparat keamanan juga melarang 82 anak mempelajari Alquran.

Semua larangan ini bukan tanpa kritik. Banyak pihak memperkirakan tindakan represif ini akan menimbulkan kemarahan massal Muslim Uighur. Beijing sedang meradikalisasi pemeluk Islam.

Kritik lebih keras lagi, Beijing sengaja menciptakan radikalisasi di Xinjiang agar punya alasan untuk melakukan pembantaian, dan memaksa Muslim Uighur mencopot identitas keagamaannya.


Joanne Smith Finley, pakar Uighur di Newcastle University, mengatakan larangan berjenggot dan mengenakan jilbab hanya akan membuat Muslim Uighur menjadi lebih Islami.

"Jenggot dan jilbab adalah perintah Rasul. Semakin dilarang, akan semakin banyak orang yang nekad melanggar," ujar Finley.

Tiongkok, masih menurut Finley, sebenarnya sendang menumbuhkan terorisme -- sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Beijing juga sedang memaksa terjadinya radikalisme Islam.

Pemerintah Tiongkok menghormati kebebasan beragama, tapi secara sistematis menargetkan jenggot dan jilbab -- simbol-simbol kesalehan relijius -- sebagai sesuatu yang dilarang.

Kepolisian Tiongok juga merayap jauh ke sendi kehidupan sehari-hari masyarakat Uighur, dan menimbulkan ketegangan.

Xinjiang Daily melaporkan Beijing tidak hanya melarang jenggot, tapi juga semua ritual pernikahan dan pemakaman secara Islam. Tidak boleh ada tahlilan usai kedua mempelai ijab kabul.

Di pemakaman, tidak boleh ada kenduri setelah masyarakat memakamkian keluarga atau tetangga yang meninggal dunia. Pokoknya, tidak boleh lagi ada tradisi-tradisi keagamaan dalam pemakaman.

Di Turpan, pemerintah lokal sedang mempertimbangkan menjatuhkan denda 500 yuan (Rp 900 ribu) kepada wanita yang mengenakan kerudung dan jilbab di depan umum. Pengambil keputusan mengatakan larangan ini akan menjaga stabilitas dan kesetaraan gender.

Di kota lain, pejabat mengumpulkan pedagang jilbab dan kerudung agar berganti profesi menjadi pedagang sutera.

Aturan ini tidak berlaku di Kuqa dan sebagian Aksu. Perempuan berjilbab hilir-mudik di jalan-jalan. Lelaki berjenggot juga terlihat di mana-mana.

Gardner Bovingdon, pakar Xinjiang dari Universitas Indiana, mengatakan Beijing bisa saja menghapuskan seluruh jenggot dan jilbab di Xinjiang, tapi tidak ada yang bisa memaksa Muslim Uighur meninggalkan Alquran. [berbagai sumber/tst/inilah]

0 comments:

Posting Komentar