Hasil Kekayaan Aceh 'Melayang' ke Pusat


SELAMA Pemerintahan Orde baru, Aceh adalah salah satu wilayah yang kaya sumber daya, namun miskin. Oleh perusahaan-perusahaan nasional maupun multinasional justeru tidak berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat Aceh sendiri.

Hal itu disampaikan Juru Bicara Koalisi Lembaga Sipil Aceh (KOLSA) Bukhari SE, dalam konferensi pers bersama awak media yang berlangsung di Sagoe Kupie Lhokseumawe, Rabu (14/08/2013).

"Hasil kekayaan Aceh melayang ke pemerintahan pusat, dan kemudian diubah identitasnya. Padahal, pasca perdamaian RI-GAM pada 15 Agustus 2005 lalu, Aceh berhak atas pelaksanaan pemerintah sendiri," demikian kata Bukhari SE dalam rangka memperingati delapan tahun perdamaian RI-GAM.

Tak hanya itu kata Bukhari, Aceh berhak membuat peraturan Pemerintah Aceh, berhak mendirikan Partai Lokal untuk pemilihan umum tingkat provinsi, dan berhak mendapat jatah 70 persen dari pemasukan di sektor migas. "Dan mantan kombatan GAM mendapat amnesti serta reintegrasi ke dalam masyarakat," ucapnya.

Sementara Koordinator KOLSA, Sulaiman Daud, S.HI menyebutkan, ada beberapa point penting dalam nota kesepahaman MoU antara RI dengan GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia adalah Aceh memiliki kewenangan dalam semua sektor publik yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan.

"Kewenangan ini, memperlihatkan Aceh yang otonomi. Bahkan, dalam hal kebijakan-kebijakan terkait dengan masalah Aceh. Pemerintah Pusat akan selalu mengkonsultasikannya dengan legislatif atau pemerintah Aceh. Aceh juga diperbolehkan menggunakan simbol, bendera, dan himne sendiri," sebutnya berdasarkan Point 1.1.5 MoU Helsinky.

Dalam konferensi pers tersebut, kepada Pemerintah Indonesia pihak KOLSA mendesak untuk segera menyelesaikan turunan point-point MoU Helsinki. Mendesak Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh untuk merevisi Undang-Undang Pemerintah Aceh agar sesuai dengan MoU Helsinki.

Kemudian, Pemerintah juga didesak untuk segera menyusun dan mengesahkan PP dan Perpres serta Kepres yang menyangkut kewenangan Aceh, sebagaimana termaktub dalam UU Pemerintah Aceh. Yang terakhir, Pemerintah Pusat agar tidak menghambat realisasi Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang lambang dan bendera Aceh yang telah disahkan oleh DPR Aceh.

Berlangsungnya konferensi tersebut turut dihadiri oleh beberapa lembaga maupun forum. Seperti KPP, KMPA, FOPKRA, LSM Siploh, LSM Leukat, GEMPA, Keumala, Srikandi, Luas, Putroe, Aceh, APW, dan MUNA. (*/globejournal)

0 comments:

Posting Komentar