Muslim Crimea Boikot Referendum Pro-Rusia


Kamis kemarin (6/3/2014) pemerintah semi-formal etnis Tatar Crimea berencana bakal memboikot referendum pemisahan diri dari Ukraina yang sudah ditetapkan oleh pemerintah regional yang pro-Rusia.

Parlemen Crimea bakal menggelar referendum itu pada 16 Maret untuk menentukan republik kecil ini akan bergabung dengan Rusia ataukah tetap menjadi bagian Ukraina dengan opsi perluasan otonomi

Tetapi Majelis Rakyat Tatar Crimea, yang merupakan 15 persen populasi 2 juta warga Crimea, menyerukan memboikot referendum itu, tutur kepala Majelis itu, Refat Chubarov.

"Hasil pemungutan Suara akan diumumkan di tempat lain, tak peduli berapa pun jumlah pemilih yang mencoblos," kata Chubarov seperti ditulis politnavigator.net.

Majelis ini meminta pasukan pemelihara perdamaian PBB yang tak bersenjata agar diturunkan di Semenanjung Crimea, ujar Chubarov.

Pemerintah Crimea pekan lalu menolak mengakui pemerintah pusat yang baru di Kiev bentukan sebagian besar kelompok oposisi yang berhasil menggulingkan Presiden Viktor Yanukovych pada akhir Februari.

Ukraina kehilangan kontrol atas Crimea setelah ribuan tentara tanpa lencana merangsek ke wilayah ini, dan berupaya mengendalikan gedung-gedung pemerintahan lokal serta mengambil alih pangkalan-pangkalan militer di sana.

Meskipun tentara tersebut jelas berbahasa Rusia dan menyandang peralatan militer serta kendaraan berplat nomor Rusia, Kremlin menampik menyebut mereka sebagai tentara Rusia. Mereka, kata Presiden Rusia Vladimir Putin, adalah milisi lokal. Pernyataan Putin ini dicibir dunia.

Etnis Tatar Crimea ini adalah keturunan Genghis Khan dan beragama Islam serta berbahasa Turki. Mereka pernah tunduk kepada Kesultanan Osmani (Ottoman) Turki yang pernah berperang dengan Rusia dalam sengkarut perbatasan Crimea dengan Rusia.

Mendekti usainya Perang Dunia II, Sultan Abdul Hamid II, sultan terakhir Osmani, kabur ke Jerman semasa Hitler berkuasa, ketika reformasi dan revolusi Turki pimpinan Kemal Ataturk merontokkan Dinasti Kesultanan Osmani.

Pada 1944, pemimpin Uni Sovyet Josef Stalin dengan mudah menuding etnis Tatar Crimea adalah antek Nazi Jerman, mengingat hubungan dekat Sultan Abdul Hamid II dan Nazi Jerman.

Orang Tatar Crimea yang beragama Islam dibuang, dikucilkan, dan bekerja paksa di Siberia yang ganas atas perintah Stalin. Banyak pekerja paksa Tatar Crimea ini tewas di pembuangan yang sangat dingin itu.

Sejak saat itu etnis Rusia berbondong-bondong beremigrasi ke Crimea dan kini menjadi mayoritas populasi Crimea. Dan tentu saja komunitas Tatar Muslim ini menyimpan dendam kepada Sovyet atau Rusia sekarang.

Orang Tatar Crimea yang muslim sedikit bernafas lega, setelah pemimpin Uni Sovyet Nikita Kruschev, pada 1954, menyatakan bahwa Semenanjung Crimea adalah bagian Ukraina, yang saat itu menjadi republik di bawah Sovyet.

Keputusan Krushchev memberikan Crimea kepada Ukraina lebih terkait masalah ekonomi dan pertanian. Rusia saat itu sedang membangun bedungan pembangkit listrik tenaga air di Sungai Dnieper yang mengairi wilayah selatan Ukraina, termasuk Crimea.

"Karena bendungan Sungai Dnieper di wilayah Ukraina, alihkan saja wilayah Crimea dibawah supervisi Ukraina supaya mereka bertanggung jawab atas segala sesuatunya," cerita Dr Sergei Khrushchev, putera almarhum Nikita Krushchev.

"Mereka pun melakukan itu dengan baik. Jadi ini bukan langkah politis, bukan pula karena ibu saya orang Ukraina. Ini murni perhitungan bisnis," tambah Sergei Krushchev Kamis kemarin. (*ini)


0 comments:

Posting Komentar