Aceh tak Perlu Minta Bendera


Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla JK), menjadi arti penting, termasuk bagi Aceh. Pada kepemimpinan Jokowi-JK Aceh menitip harapan, terutama terkait sisa butir-butir MoU Helsinki dan turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang belum selesai pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Satu-satunya prioritas utama yang kita perjuangkan (pada pemerintah baru) adalah direalisasikannya turunan UUPA dan butir-butir MoU Helsinki, seperti PP Migas, PP Pertanahan, dan PP Kewenangan (Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh)," kata Ketua Aceh Centre, Zakaria Saman saat menjadi narasumber pada diskusi publik "Jokowi-JK dan Harapan Aceh" yang digelar oleh Aceh Centre for Inspiration di Harouk Kupi, Banda Aceh, Senin (20/10).

Selain Zakaria Saman, diskusi publik yang dimoderatori Zahrul SH tersebut tampil pula Fuad Mardhatillah (akademisi/Dosen UIN Ar-Raniry) dan TM Zulfikar (Ketua Presidium Seknas Jokowi-JK Aceh). Kegiatan itu dilakukan setelah nonton bareng (nobar) pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

Zakaria Saman yang juga mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu menegaskan, tidak ada permintaan lain yang lebih utama kepada pemerintahan Jokowi-JK, termasuk persoalan bendera dan lambang Aceh. "Kita jangan minta macam-macam dulu, termasuk tidak perlu meminta bendera, itu urusan belakangan. Kalau tidak ada bendera, bendera hitam pun boleh. Di Jerman saja empat kali ganti bendera," ungkap Apa Karya begitu ia disapa.

Seperti diketahui, hingga sembilan tahun umur perdamaian antara GAM-RI, masih ada tiga turunan UUPA yang belum selesai. Ketiga turunan tersebut adalah PP tentang Pengelolaan Bersama Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi di Aceh, PP tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh, dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelimpahan Kewenangan Bidang Pertanahan dari Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota.

Sementara sejumlah poin penting di dalam MoU yang belum terwujud, antara lain, pembentukan Pengadilan HAM (Pasal 2.2), pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim (Pasal 3.2.6); dan Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Terkait itu, Apa Karya menambahkan, agar Aceh tidak lagi dibohongi pusat, perlu dibangun koordinasi dan komunikasi yang intens antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. Selain itu, ia juga meminta masyarakat Aceh untuk mengawal segala program pemerintah Jokowi-JK terutama terkait implementasi butir-butir MoU Helsinki dan turunan UUPA.

"Masa depan kita tergantung pada kita, bukan pada orang lain. Orang lain hanya bisa mendukung," tandas anggota Tuha Peuet Partai Aceh ini.

Narasumber lainnya, Fuad Mardhatillah mengatakan, masyarakat Aceh perlu mendiskusikan secara serius apa saja kebutuhan Aceh untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat dengan cara-cara santun dan argumentatif. "Dengan langkah yang lebih santun kita bisa gunakan untuk melakukan perubahan Aceh," kata akademisi UIN Ar Raniry ini.

Menurutnya, hal tersebut tidak berlebihan menginggat rakyat Aceh telah berjuang dengan mendukung pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 pada Pilpres 2014. "Kita sudah bekerja keras dalam pemenangan untuk Jokowi-JK. Itu merupakan sebuah perjuangan awal kita," tandas Fuad. (*serambi)

0 comments:

Posting Komentar